( Masa Orde Baru, Masa Orde Lama , dan Masa
Reformasi )
ANALISIS EKONOMI INDONESIA PADA
ERA ORDE BARU
Perkembangan yang terjadi pada era Orde Baru dalam perekonomian Indonesia
menarik penulis untuk membahasnya. Salah satu hal yang menarik perhatian
penulis adalah peristiwa terjadinya Krisis Moneter yang melanda Indonesia pada
awal Juli 1997. Pada peristiwa terjadinya Krisis Moneter ini telah berubah menjadi
krisis ekonomi yang melanda seluruh pelosok negeri, yang mengakibatkan
lumpuhnya kegiatan ekonomi karena semakin banyak perusahaan yang tutup dan
meningkatnya jumlah pekerja yang menganggur.
Krisis ekonomi tersebut tidak
sepenuhnya disebabkan karena terjadinya krisis moneter saja, melainkan
ditambahi ataupun diperberat dengan terjadinya musibah-musibah nasional yang
datang silih berganti di tengah kesulitan ekonomi yang sedang terjadi seperti
terjadinya kegagalan panen padi di banyak wilayah Indonesia yang diakibatkan
oleh musim kering yang berkepanjangan dan terparah selama 50 tahun terakhir,
serta peristiwa kerusuhan yang melanda banyak kota pada pertengahan Mei 1998
lalu.
Dari alasan-alasan di atas penulis
berusaha melakukan pembahasan yang terjadi pada waktu itu. Penulis mencoba
untuk mengetahui dan memaparkan hal-hal apakah yang terjadi era Orde Baru dalam
perekonomian Indonesia, dan apa sajakah dampak yang ditimbulkan dari krisis
moneter tersebut.
=>
Kondisi Ekonomi Indonesia Pada Awal Masa Orde Baru
Di awal Orde Baru, Soeharto berusaha keras membenahi ekonomi
Indonesia yang terpuruk, dan berhasil untuk beberapa lama. Kondisi ekonomi
Indonesia ketika Pak Harto pertama memerintah adalah keadaan ekonomi dengan
inflasi sangat tinggi, 650% setahun,” kata Emil Salim, mantan menteri pada
pemerintahan Soeharto. Untuk menekan inflasi yang begitu tinggi, Soeharto
membuat kebijakan yang berbeda jauh dengan kebijakan Soekarno, pendahhulunya.
Hal ini beliau lakukan dengan menertibkan anggaran, menertibkan sektor
perbankan, mengembalikan ekonomi pasar, memperhatikan sektor ekonomi, dan
merangkul negara-negara barat untuk menarik modal.
Setelah itu di keluarkan ketetapan MPRS No.
XXIII/MPRS/1996 tentang Pembaruan Kebijakan ekonomi, keuangan dan pembangunan.
Lalu Kabinet AMPERA membuat kebijakan mengacu pada Tap MPRS tersebut adalah
sebagai berikut.
1. Mendobrak kemacetan
ekonomi dan memperbaiki sektor-sektor yang menyebabkan kemacetan, seperti :
a. Rendahnya penerimaan Negara
b. Tinggi dan tidak efisiennya pengeluaran
Negara
c. Terlalu banyak dan tidak produktifnya
ekspansi kredit bank
d. Terlalu banyak tunggakan hutang luar negeri
penggunaan devisa bagi impor yang sering kurang berorientasi pada kebutuhan
prasarana.
2.
Debirokratisasi untuk memperlancar kegiatan perekonomian.
3.
Berorientasi pada kepentingan produsen kecil.
Untuk melaksanakan
langkah-langkah penyelamatan tersebut maka ditempuh cara :
1. Mengadakan
operasi pajak.
2. Cara
pemungutan pajak baru bagi pendapatan perseorangan dan kekayaan dengan
menghitung pajak sendiri dan menghitung pajak orang.
Menurut Emile Salim,
Suharto menerapkan cara militer dalam menangani masalah ekonomi yang dihadapi
Indonesia, yaitu dengan mencanangkan sasaran yang tegas. Pemerintah lalu
melakukan Pola Pembangungan Jangka Panjang (25-30 tahun) yang dilakukan secara
periodik Lima Tahunan yang disebut dengan Pelita (Pembangunan Lima Tahun) yang
dengan melinatkan para teknokrat dari Universitas Indonesia, dia memperoleh
pinjaman dari Negara-negara Barat dan Lembaga Keuangan seperti IMF dan Bank
Dunia. Liberalisasi perdagangan dan investasi kemudian dibuka selebarnya.
Inilah yang sejak awal dipertanyakan oleh Kwik Kian Gie, yang menilai kebijakan
ekonomi Suharto membuat Indonesia terikat pada kekuatan modal asing.
=>
Krisis Moneter dan Faktor – faktor Penyebabnya
Penyebab dari krisis ini
bukanlah fundamental ekonomi Indonesia yang selama ini lemah, terutama karena
utang swasta luar negeri yang telah mencapai jumlah yang besar. Yang jebol
bukanlah sektor rupiah dalam negeri, melainkan sektor luar negeri, khususnya
nilai tukar dollar AS yang mengalami overshooting yang sangat jauh dari nilai
nyatanya. Krisis yang berkepanjangan ini adalah krisis merosotnya nilai tukar
rupiah yang sangat tajam, akibat dari serbuan yang mendadak dan secara
bertubi-tubi terhadap dollar AS (spekulasi) dan jatuh temponya utang swasta
luar negeri dalam jumlah besar. Seandainya tidak ada serbuan terhadap dollar AS
ini, meskipun terdapat banyak distorsi pada tingkat ekonomi mikro, ekonomi
Indonesia tidak akan mengalami krisis. Dengan kata lain, walaupun distorsi pada
tingkat ekonomi mikro ini diperbaiki, tetapi bila tetap ada gempuran terhadap
mata uang rupiah, maka krisis akan terjadi juga, karena cadangan devisa yang
ada tidak cukup kuat untuk menahan gempuran ini. Krisis ini diperparah lagi
dengan akumulasi dari berbagai faktor penyebab lainnya yang datangnya saling
bersusulan. Analisis dari faktor faktor penyebab ini penting, karena
penyembuhannya tentu tergantung dari ketepatan diagnosa.
Bank dunia melihat adanya empat sebab utama yang
bersama sama membuat krisis menuju ke arah kebangkrutan (World Bank,
1998,pp.17-1.11). Yang pertama adalah akumulasi utang swasta luar negeri yang
cepat dari tahun 1992 hingga Juli 1997. Sebab yang kedua adalah kelemahan pada
sistem perbankan. Ketiga adalah masalah governance, termasuk kemampuan
pemerintah menangani dan mengatasi krisis, yang kemudian menjelma krisis
kepercayaan dan keengganan donor untuk menawarkan bantuan finansial dengan
cepat. Yang
keempat adalah ketidak pastian
politik menghadapi pemilu yang lalu dan pertanyaan mengenai kesehatan Presiden
Soeharto pada waktu itu.
Penyebab utama dari terjadinya
krisis yang berkepanjangan ini adalah merosotnya nilai tukar rupiah terhadapa
dollar AS yang sangat tajam, meskipun ini bukan faktor satu-satunya, tetapi ada
banyak faktor lainnya yang berbeda menurut sisi pandang masing-masing pengamat.
Berikut ini diberikan rangkuman dari berbagai faktor tersebut menurut urutan
kejadiannya :
1.
Dianutnya sistem devisa yang terlalu bebas tanpa adanya pengawasan yang
memadai, memungkinkan arus modal dan valas dapat mengalir keluar masuk secara
bebas berapapun jumlahnya. Kondisi di atas dimungkinkan, karena Indonesia
menganut rezim devisa bebas dengan rupiah yang konvertibel, sehingga membuka
peluang yang sebesar-besarnya untuk orang bermain di pasar valas. Masyarakat
bebas membuka rekening valas didalam negeri atau diluar negeri. Valas bebas
diperdagangkan didalam negeri, sementara rupiah juga bebas diperdagangkan di
pusat pusat keuangan di luar negeri.
2.
Tingkat depresiasi rupiah yang relatif rendah, berkisar antara 2,4% (1993)
hingga 5,8% (1991) antara tahun 1998 hingga 1996, yang berada dibawah nilai
tukar nyatanya, menyebabkan nilai rupiah secara kumulatif sangat overvalued.
Ditambah dengan kenaikan pendapatan penduduk dalam nilai US dollar yang naiknya
relatif lebih cepat dari kenaikan pendapatan nyata dalam Rupiah, dan produk
dalam negeri yang makin lama makin kalah bersaing dengan produk impor. Nilai
rupiah, yang overvalued berarti juga proteksi industri yang negatif. Akibatnya
harga barang impor menjadi relatif murah dan produk dalam negeri relatif mahal,
sehingga masyarakat memilih barang impor yang kualitasnya lebih baik. Akibatnya
produksi dalam negeri tidak berkembang, ekspor menjadi kurang kompetetif dan
impor meningkat. Nilai rupiah yang sangat overvalued ini sangat rentan terhadap
serangan dan permainan spekulan, karena tidak mencerminkan nilai tukar yang
nyata.
3. Akar dari segala
permasalahan adalah utang luar negeri swasta jangka pendek dan menengah
sehingga nilai tukar rupiah mendapat tekanan yang berat karena tidak tersedia
cukup devisa untuk membayar utang yang jatuh tempo beserta bunganya (bandingkan
juga wessel et al.:22), ditambah sistem perbankan nasional yang lemah.
Akumulasi utang swasta luar negeri yang sejak awal tahun 1990-an telah mencapai
jumlah yang sangat besar, bahkan sudah jauh melampaui utang resmi pemerintah
yang beberapa tahun terakhir malah sedikit berkurang (oustanding official
debt). Ada tiga pihak yang bersalah disini, pemerintah, kreditur dan debitur.
Kesalahan pemerintah adalah, karena telah memberi signal yang salah kepada
pelaku ekonomi dengan membuat nilai rupiah terus menerus overvalued dan suku
bunga rupiah yang tinggi, sehingga pinjaman dalam rupiah menjadi relatif mahal
dan pinjaman dalam mata uang asing menjadi relatif murah. Sebaliknya, tingkat
bunga di dalam
negeri dibiarkan tinggi untuk
menahan pelarian dana keluar negeri dan agar masyarakat mau mendepositokan
dananya dalam rupiah. Jadi disini pemerintah dihadapi dengan buah simalakama.
Keadaan ini menguntungkan pengusaha selama tidak terjadi devaluasi dan ini
terjadi selama bertahun tahun sehingga memberi rasa aman dan orang terus
meminjam dari luar negeri dalam jumlah yang semakin besar. Dengan demikian
pengusaha hanya bereaksi atas signal yang diberikan oleh pemerintah. Selain itu
pemerintah sama sekali tidak melakukan pengawasan terhadap utang-utang swasta
luar negeri ini, kecuali yang berkaitan dengan proyek pemerintah dengan
dibentuknya tim PKLN. Bagi debitur dalam negeri, terjadinya utang swasta luar
negeri dalam jumlah besar ini, disamping lebih menguntungkan, juga disebabkan
suatu gejala yang dalam teori ekonomi dikenal sebagai fallay of thinking2,
dimana pengusaha beramai ramai melakukan investasi di bidang yang sama meskipun
bidangnya sudah jenuh, karena masing masing pengusaha hanya melihat dirinya
sendiri saja dan tidak memperhitungkan gerakan pengusaha lainnya. Pihak
kreditur luar negeri juga ikut bersalah, karena kurang hati hati dalam memberi
pinjaman dan salah mengantisipasi keadaan (bandingkan IMF, 1998:5). Jadi
sudah sewajarnya, jika kreditur luar negeri juga ikut menanggung sebagian dari
kerugian yang diderita oleh debitur.
4. Permainan yang
dilakukan oleh spekulan asing yang dikenal sebagai hedge funds tidak mungkin dapat
dibendung dengan melepas cadangan devisa yang dimiliki Indonesia pada saat itu,
karena praktek margin trading, yang memungkinkan dengan modal relatif kecil
bermain dalam jumlah besar. Dewasa ini mata uang sendiri sudah menjadi komoditi
perdagangan, lepas dari sektor riil. Para spekulan ini juga meminjam dari
sistem perbankan untuk memperbesar pertaruhan mereka. Itu sebabnya mengapa Bank
Indonesia memutuskan untuk tidak invertensi dipasar valas karena tidak akan ada
gunanya.
5.
Kebijakan fiskal dan moneter tidak konsisten dalam suatu sistem nilai tukar
dengan pita batas intervensi. Sistem ini meyebabkan apresiasi nyata dari nilai
tukar rupiah dan mengundang tindakan spekulasi ketika sistem batas intervensi
ini dihapus pada tanggal 14 Agustus 1997 (Nasution : 2). Terkesan tidak adanya
kebijakan pemerintah yang jelas dan terperinci tentang bagaimana mengatasi
krisisi (Nasution:1) dan keadaan ini masih berlangsung hingga saat ini.
Ketidakmampuan pemerintah menangani krisis menimbulkan krisis kepercayaan dan
mengurangi kesediaan investor asing untuk memberi bantuan finansial dengan
cepat (Wrold Bank, 1998:1.10).
6.
Defisit neraca berjalan yang semakin membesar (IMF Research Department Staff
10;IDE), yang disebabkan karena laju peningkatan impor barang dan jasa lebih
besar daripada ekspor dan melonjaknya pembayaran bunga pinjaman. Sebab utama
adalah nilai tukar rupiah yang sangat overvalued, yang membuat harga
barang-barang impor menjadi relatif murah dibandingkan dengan produk dalam
negeri.
7. Penanaman
modal asing portpolio yang pada awalnya membeli saham besar-besaran
diimingimingi keuntungan yang besar yang ditunjang oleh perkembangan moneter
yang relatif stabil kemudian mulai menarik dananya keluar dalam jumlah besar
(Worl Bank, 1998, hal. 1.3,1.4; Greenwood). Selisih tingkat suku bunga dalam
negeri dengan luar negeri yang besar dan kemungkinan memperoleh keuntungan yang
relatif besar dengan cara bermain di bursa efek, ditopang oleh tingkat
devaluasi yang relatif stabil sekitar 4% pertahun sejak 1986 meyebabkan banyak
modal luar negeri yang mengalir masuk. Setelah nilai tukar rupiah tambah
melemah dan terjadi krisis kepercayaan, dana modal asing terus mengalir ke luar
negeri meskipun di coba ditahan dengan tingkat bunga yang tinggi atas
surat-surat berharga Indonesia (Nasution: 1, 11). Kesalahan juga terletak pada
investor luar negeri yang kurrang waspada dan meremehkan resiko (IMF, 1998: 5).
Krisis ini adalah krisis kepercayaan terhadap rupiah (World Bank, 1998, p.2.1).
8. IMF
tidak membantu sepenuh hati dan terus menunda pengucuran ddana bantuan yang
dijanjikan dengan alasan pemerintah tidak melaksanakan 50 butir kesepakatan
dengan baik.
9.
Spekulan domestik ikut bermain (Wessel et al., hal 22). Para spekulan ini pun
tidak semata-mata menggunakan dananya sendiri, tetapi juga meminjam dana dari
sistem perbankan untuk bermain.
10. Terjadi krisis kepercayaan
dan kepanikan yang menyebabkan masyarakat luas menyerbu membeli dollar AS agar
nilai kekayaan tidak merosot dan bisa menarik keuntungan dari merosotnya nilai
tukar rupiah. Terjadilah snowball effect, dimana serbuan terhadap dollar AS
makin lama makin besar.
11. Daya saing
negara-negara Asia Timur meningkat terhadap Jepang, sehingga banyak
pereusahaan Jepang melakuakn relokasi dan investasi dalam jumlah besar di
negara Indonesia. Tahun 1995 kurs dollar AS berbalik menguat terhadap Yen
Jepang, sementara nilai utang dari negara-negara ini dalam dollar AS meningkat
karena meminjam dalam yen, sehingga menimbulkan krisis keuangan (Ehrke: 2).
Di lain pihak harus diakui bahwa
sektorr rill sudah lama menunggu pembenahan yang mendasar, namun kelemahan ini
meskipun telah terakumulasi selama bertahun-tahun masih bisa ditampung oleh
masyarakat dan tidak cukup kuat untuk menjungkir-balikkan perekonomian
Indonesia seperti pada orde baru ini. Memang terjadi dislokasi sumber-sumber
ekonomi dan kegiatan mengejar rente ekonomi oleh perorangan atau kelompok
tertentu uang menguntungkan mereka dan merugikan rakyat banyak dan
perusahaan-perusahaan yang efisien. Subsidi pangan oleh BULOG, monopoli dii
berbagai bidang, penyaluran dana yang besar untuk proyek IPTN dan mobil
nasional. Timbulnya krisis berkaitan dengan jatuhnya nilai tukar rupiah
terhadap dollar AS secara tajam, yakni sektor ekonomi luar negeri, dan kurang
dipengaruhi oleh sektor rill dalam negeri, meskipun kelemahan sektor rill dalam
negeri mempunyai pengaruh terhadap melemahnya nilai tukar rupiah. Membenahi
sektor rill saja, tidak memecahkan permasalahan.
Krisis pecah
karena terdapat ketidakseimbangan antara kebutuhan akan valas dalam jangka
pendek dengan jumlah devisa yang tersedia, yang menyebabkan nilai dollar AS
yang melambung dan tidak terbendung. Sebab itu tindakan yang harus segera di
dahulukan untuk mengatasi krisis ekonomi ini adalah pemecahan masalah utang
swasta luar negeri, membenahi kinerja perbankan nasional, mengembalikan
kepercayaan masyarakat, dalam dan luar negeri terhadap kemampuan ekonomi
Indonesia, menstabilkan nilai tukar rupiah pada tingkat yang nyata, dan tidak kalah
penting adalah mengembalikan stabilitas sosial dan politik.
=> Program reformasi Ekonomi IMF
Menurut IMF, krisis ekonomi yang
berkepanjangan di Indonesia disebakan karena pemerintah baru meminta bantuan
IMF setelah rupiah sudah sangata terdpresiasi. Strategi pemulihan IMF dalam
garis besarnya adalah mengembalikan kepercayaan pada mata uang, yaitu dengan
membuat mata uang itu sendiri menarik. Inti dari setiap program pemulihan
ekonomi adalah restrukturisasi sektor finansial (Fischer 1998b). Sementara itu
pemerintah Indonesia telah enam kali memperbaharui persetujuannya dengan IMF,
second supplementary memorandum of economic and financial policies (MEFP)
tanggal 24 juini, kemudian 29 Juli 1998, dan yang terakhir adalah review yang
keempat, tanggal 16 Maret 1999.
Program bantuan IMF pertama
ditanda-tangani pada tanggal 31 Oktober 1997. Program reformasi ekonomi yang
disarankan IMF ini mencakup empat bidang, yaitu :
1.
Penyehatan sektor keuangan
2.
Kebijakan fiskal
3.
Kebijakan moneter
4. Penyesuaian
struktural
=> Dampak dari Krisis
Dewasa ini semua permasalahan dalam
krisis ekonomi berputar putar sekitar kurs nilai tukar valas, khususnya dollar
AS, yang melambung tinggi jika dihadapkan dengan pendapatan masyarakat dalam
rupiah yang tetap, bahkan dalam beberapa hal turun ditammbah PHK, padahal harga
dari banyak barang naik cukup tinggi, kecuali sebagian sektor pertanian dan
ekspor. Imbas dari kemerosotan nilai tukar rupiah yang tajam secara umum sudah
kita ketahui: kesulitan menutup APBN, harga telur/ayam naik, utang luar negeri
dalam rupiah melonjak, harga BBM/tarif listrik naik, tarif angkutan naik,
perusahaan tutup atau mengurangi produksinya karena tidak bisa menjual
barangnya dan beban utang yang tinggi, toko sepi, PHK dimana mana, investasi
menurun karena impor barang modal mennjadi mahal, biaya sekolah di luar negeri
melonjak.
Dampak lain
adalah laju inflasi yang tinggi selama beberapa bulan terakhir ini, yang bukan
disebabkan karena imported inflation, tetapi lebih tepat jika dikatakan foreign
exchange induced inflation. Masalah ini hanya bisa dipecahkan secara mendasar
bila nilai tukar valas bisa diturunkan hingga tingkat yang wajar atau nyata
(riil). Dengan demikian roda perekonomian bisa berputar kembali dan harga harga
bisa turun dari tingkat yang tinggi dan terjangkau oleh masyarakat, meskipun
tidak kembali pada tingkat sebelum terjadinya kebijakan moneter. Namun, secara
keseluruhan dampak negatifnya dari jatuhnya nilai tukar rupiah masih lebih
besar dari dampak positifnya.
=>
Prospek Ekonomi Indonesia
Prospek ekonomi untuk beberapa tahun mendatang adalah
kurang cerah dan akan ditandai oleh pertumbuhan ekonomi yang negatif. Menurut
perkiraan IMF pada bulan Maret 1999 lalu, pertumbuhan GDP nyata Indonesia pada
tahun 1998/9 diperkirakan akan negatif sebesar 16%, dan tingkat inflasi sekitar
66%. Keadaan ekonomi yang sangat parah ini diperkirakan pada bulan-bulan
mendatang masih akan berlangsung terus, karena krisis belum juga menyentuh
dasar jurang. Berapa lama krisis ekonomi ini masih akan berlangsung, sulit
untuk diramalkan karena tergantung pada banyak faktor. Faktor-faktor tersebut
adalah bantuan IMF dan donor-donor lainnya yang segera, menguatnya nilai tukar
rupiah terhadap dollar AS pada tingkat yang wajar, pulihnya kepercayaan
investor dalam dan luar negeri, keamanan yang mantap, suasana politik dan
sosial yang stabil.
Akan tetapi sekali krisis berakhir dan ekonomi
berbalik bangkit kembali, maka perbaikan ini diperkirakan akan berlangsung
relatif cepat. Karena prasarana dasar untuk pembangunan sudah tersedia, tenaga
terlatih, pabrik, mesin-mesin sudah ada, sehingga yang diperlukan adalah
pulihnya kepercayaan dan masuknya modal baru.
* MASA ORDE BARU
Peran Resimen
Mahasiswa terus berlanjut dalam bidang Hankamneg, sekalipun tantangan juga
semakin besar , pada masa awal Orde Baru, keterlibatan Menwa cukup besar dalam
penumpasan sisa - sisa G30S, dilanjutkan dengan menjadi bagian dari Pasukan
Garuda ke Timur Tengah, operasi teritorial di Timor Timur dan sebagainya.
Penyelenggaraan pendidikan dan latihan dasar kemiliteran untuk menciptakan
kader dan generasi baru bagi Menwa juga terus dilaksanakan.
Di lain pihak, di lingkungan perguruan tinggi pada tahun 1968,
dikeluarkan keputusan untuk wajib latih bagi mahasiswa (WALAWA) dan wajib
militer bagi mahasiswa (WAMIL) berdasarkan Keputusan Menhankam No.
Kep/B/32/1968, tanggal 14 Februari 1968, tentang pengesahan Naskah Rencana
Realisasi Program Sistem Wajib Latih dan Wajib Militer bagi Mahasiswa.
Dilanjutkan operasionalisasinya dengan Keputusan Bersama Dirjen Pendidikan
Tinggi dan Kepala Staf Komando Pendidikan Wajib Latih Mahasiswa (Kas Kodik Walawa)
No. 2 tahun 1968. Program ini kemudian diganti dengan Pendidikan Kewiraan dan
Pendidikan Perwira Cadangan (PACAD) pada tahun 1973 (Keputusan Bersama
Menhankam /Pangab dan Menteri P dan K no. Kep/21/B/1973 dan 0228/U/1973 tanggal
31 Desember 1973. Program Walawa diikuti oleh seluruh mahasiswa dan berbeda
dengan Menwa keberadaannya.
Program
Walawa pada tahun 1974 dibubarkan. Dan pada tahun 1975 sejalan dengan
perkembangan dan kemajuan penyempurnaan organisasi Menwa terus diupayakan. Setelah
dikeluarkan KB Menhankam /Pangab, Menteri P dan K, dan Mendagri No.
Kep/39/X/1975, No 0246A/V/1975 dan No. 247 tahun 1975 tentang Pembinaan
Organisasi Menwa dalam Mengikutsertakan Rakyat dalam Pembelaan Negara,
Disebutkan bahwa Resimen Mahasiswa dibentuk menurut pembagian wilayah propinsi
sehingga berjumlah 27 Resimen Mahasiswa di Indonesia. Sedangkan keanggotaan
Menwa adalah mereka yang lulus pendidikan Menwa (Latsar Kemiliteran) dan Alumni
Walawa.
Sebagai pelaksanaan ketentuan
tersebut, dikeluarkan KB 3 Menteri yang sama No. Kep/02/I/1978, No. 05/S/U/1978
dan No 17A tahun 1978 tentang Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) Pembinaan
Organisasi Menwa hingga dilakukan penyempurnaan lagi pada tahun 1994.
Pada tanggal 28 Desember 1994 Organisasi Menwa mengalami
penyempurnaan melalui KB 3 Menteri No. Kep/11/XII/1994, No. 0342/U/1994, No.
149 Tahun 1994 tentang Pembinaan dan Penggunaan Resimen Mahasiswa dalam Bela
Negara. Sebagai pelaksanaan ketentuan tersebut dikeluarkan serangkaian keputusan
para Direktur Jenderal terkait dari tiga Departemen Pembina, yang terdiri atas
Keputusan Dirjen Personil, Tenaga Manusia dan Veteran (Persmanvet) Dephankam
No. Kep./03/III/1996 tentang Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) Pendidikan dan
Latihan Resimen Mahasiswa, No. Kep./04/III/1996 tentang Juklak Pakaian Seragam
dan Tunggul Menwa dan Pemakaiannya, No. Kep./05/III/1996 tentang Peraturan
Disiplin Menwa, serta Keputusan Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) Depdikbud No.
522/Dikti/1996 tentang Juklak Pembinaan Satuan Resimen Mahasiswa di Lingkungan
Perguruan Tinggi.
SEJARAH DIPLOMASI INDONESIA ERA ORDE LAMA (1945-1966)
SEJARAH DIPLOMASI INDONESIA
PADA MASA ORDE LAMA (1945-1966)
Sejarah diplomasi negara Indonesia sebenarnya telah berlangsung lama. Tonggak penting munculnya diplomasi di Indonesia berawal dari diikrarkanya perasaan satu bangsa, satu bahasa dan satu tanah air, yang merupakan dasar dari pembentukan identitas nasional oleh para pemuda-pemudi Indonesia melalui sumpah pemuda, yang diikrarkan dalam Konggres Pemuda II di Jakarta pada tanggal 28 oktober 1928.
Setelah munculnya peristiwa sumpah pemuda, yang merupakan tonggak terpenting dalam mempersatukan rasa nasionalisme bangsa Indonesia, akhirnya pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaanya, setelah sehari sebelumnya Soekarno dan Hatta berunding dengan para pemuda di Rengasdengklok mengenai proklamasi kemerdekaan Indonesia, memanfaatkan momentum menyerahnya Jepang kepada sekutu tanggal 15 Agustus 1945. Dan pada tanggal 19 Agustus 1945 ditetapkan menteri-menteri yang memimpin kabinet, beserta kementrian yang menaunginya. Salah satu kementrian yang kelak akan berpengaruh di bidang diplomasi adalah Kementrian Luar Negeri Republik Indonesia, yang saat itu dipimpin oleh Ahmad Subardjo.
Meskipun Republik Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, namun Belanda belum mengakui secara sah berdirinya Republik Indonesia, dan mencoba kembali menguasai Indonesia dengan menggunakan bantuan Inggris. Karena hal tersebut, pada periode 1945 hingga 1949 di Indonesia muncul berbagai perlawanan fisik menentang agresi militer Belanda. Selain perlawanan fisik yang dilakukan oleh rakyat Indonesia, dilakukan pula berbagai usaha diplomasi dan berbagai perundingan yang berkaitan dengan perebutan kekuasaan atas berbagai wilayah di Indonesia dan pengakuan kedaulatan Republik Indonesia.
Perserikatan Bangsa-Bangsa ( PBB ) sebagai organisasi internasional yang bertujuan menjaga kedamaian dan ketertiban dunia tidak tinggal diam dengan hal ini. Dewan Keamanan PBB mengirimkan misi perdamaian ke Indonesia, dan mengeluarkan resolusi agar Belanda dan Indonesia segera menghentikan segala aktivitas militer. PBB meminta agar Belanda membebaskan semua tahanan politik, pembentukan suatu pemerintahan sementara dan pengakuan kedaulatan atas Republik Indonesia. Akhirnya pada tanggal 23 Agustus sampai 2 November 1949 diselenggarakan Konferensi Meja Bundar ( KMB ) di Den Haag, yang menjadi jalur pembuka munculnya pengakuan kedaulatan Belanda atas Indonesia pada 27 Desember 1949.
Setelah resmi diakui kedaulatanya sebagai negara merdeka, Republik Indonesia mulai menyusun kembali pemerintahan yang selama kurang lebih empat tahun, dari tahun 1945 hingga 1949 berjuang mempertahankan kemerdekaan yang akan direbut kembali oleh Belanda. Dan pada bulan Januari 1950 Presiden pertama Republik Indonesia Soekarno melakukan kunjungan internasionalnya yang pertama sebagai Presiden Republik Indonesia, yaitu mengadakan kunjungan ke India, Pakistan, dan Birma.
Sebagai salah satu negara yang telah mendapatkan kedaulatan secara penuh, Indonesia bergabung ke dalam keanggotaan PBB pada tahun 1950. Tepatnya pada tanggal 27 September 1950, Majelis Umum PBB menerima Indonesia sebagai anggota PBB. Pada tahun 1955, Indonesia kembali menunjukan eksistensinya di dunia internasional dengan memprakarsai lahirnya Konferensi Asia Afrika (KAA), bersama Burma, India, Pakistan dan Sri Lanka. Selain sebagai pemrakarsa Indonesia juga berlaku sebagai tuan rumah Konferensi Asia Afrika yang dilangsungkan di Bandung pada tanggal 18 sampai 25 April 1955.
Indonesia yang tidak ingin mengidentikan negaranya dengan blok barat maupun blok timur, turut serta sebagai salah satu negara penggagas Konferensi Tingkat Tinggi Negara-negara Non Blok (KTT Non Blok). Dan pada tahun 1961 diselenggarakan KTT Non Blok yang pertama di kota Beograd, Yugoslavia.KTT tersebut dihadiri oleh beberapa negara berkembang yang tidak turut serta menyertakan diri sebagai negara pendukung blok timur maupun blok barat.
Beberapa tahun berlalu setelah Indonesia mengikrarkan diri sebagai negara yang memiliki pandangan politik luar negeri bebas aktif, Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia mulai memanfaatkan kekuasaanya dengan melakukan beberapa bentuk penyimpangan terhadap politik luar negeri bebas aktif yang ia ikrarkan sendiri. Dengan diawali oleh sistem demokrasi terpimpin ala Soekarno, politik luar negeri Indonesia yang semula bebas aktif perlahan mulai ia arahkan ke kiri, dan hal ini memunculkan kecemburuan dari pihak barat.
Pada tahun 1961, Inggris mencoba menggabungkan wilayah koloninya di semenanjung Malaka, Singapura dan Kalimantan Utara menjadi satu dalam Federasi Malaysia. Rencana ini kemudian ditentang oleh Pemerintah Indonesia. Presiden Soekarno berpendapat bahwa Federasi Malaysia merupakan Negara bentukan Inggris, dan hal ini memungkinkan bagi Inggris untuk melakukan kontrol atas Asia Tenggara khususnya Indonesia sebagai tetangga terdekat. Atas dasar tersebut Indonesia mengambil sikap tegas untuk mengadakan konfrontasi dengan Malaysia. Dan pada tanggal 3 Mei 1963, Presiden Soekarno mengumumkan perintah Dwi Komando Rakyat (Dwikora) yang menjadi legitimasi munculnya penyerangan terhadap Malaysia yang dilakukan oleh militer Indonesia.
Ketegangan hubungan Indonesia-Malaysia semakin ditegaskan oleh Presiden Soekarno. Pada tanggal 7 Januari 1965, Presiden Soekarno mengumumkan Indonesia keluar dari keanggotaan PBB. Keluarnya Indonesia dari PBB merupakan reaksi atas ditetapkanya Malaysia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Keluarnya Indonesia dari keanggotaan PBB berakibat pada tersisolasinya Indonesia dari pergaulan masyarakat internasional.
Setelah menyatakan keluar dari keanggotaan PBB, Indonesia tidak tinggal diam. Sikap tegas langsung diambil oleh Presiden Soekarno dengan membentuk kekuatan baru, yaitu The New Emerging Force (NEFO) sebagai representasi negara-negara dunia ketiga sebagai kekuatan baru untuk melawan kedigdayaan The Old Establsihed Force (OLDEFO) yang berisikan negara-negara maju.
Jika kita urutkan pada beberapa era sebelumnya, sikap tegas Presiden Soekarno melawan intervensi negara-negara barat telah banyak dilakukan. Pada kisaran tahun 1960 saat Belanda mencoba menguasai Irian Barat, Republik Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan Kerajaan Belanda. Hal yang sama terjadi pada tahun 1963 saat Inggris menyatakan kemerdekaan Federasi Malaysia, hubungan diplomatik antara Republik Indonesia dan Kerajaan Inggris berakhir. Dan yang terakhir adalah pada saat dilangsungkanya Asian Games 1962 di Jakarta. Indonesia sebagai tuan rumah menolak keikutsertaan Israel dan Taiwan dalam ajang tersebut. Hal ini menimbulkan kemarahan dari pihak Komite Olimpiade Internasional (IOC), yang mengakibatkan tidak direstuinya penyelenggaraan Asian Games 1962 oleh IOC. Setahun kemudian Presiden Soekarno membalas dengan menyatakan bahwa Indonesia keluar dari keanggotaan di IOC, dan membentuk olimpiade tandingan yang bernama GANEFO. Indonesia sendiri tercatat sebagai tuan rumah pertama sekaligus terakir kali dilangsungkanya GANEFO, yaitu di Jakarta pada tahun 1963.
Memasuki penghujung tahun 1965 hubungan antara Indonesia semakin erat dengan Cina. Dan di masa ini pula kesehatan Presiden Soekarno mulai mengalami penurunan dan menjadi jalan pembuka bagi munculnya revolusi untuk menggantikan posisi Presiden Soekarno sebagai penguasa tunggal Indonesia. Akhirnya setelah memanfaatkan sebuah revolusi yang gagal dilaksanakan oleh beberapa petinggi PKI pada 30 September 1965, Mayor Jendral Soeharto berhasil menerima mandat dari Presiden Soekarno untuk mengatasi kondisi negara yang sedang dilanda huru-hara melalui Surat Perintah Sebelas Maret (SUPERSEMAR). Melalui surat itu pula Soeharto mulai mengadakan serangkaian operasi militer untuk membersihkan negara dari bahaya gerakan komunis, dan menjadi legitimasi bagi Soeharto untuk mendapatkan kekuasaan sebagai Presiden Republik Indonesia.
Setelah munculnya ketegangan antara Indonesia dan Malaysia sekitar tahun 1963 hingga 1964 yang memunculkan politik konfrontasi. Pada tanggal 11 Agustus 1965 disepakati normalisasi hubungan Indonesia-Malaysia, dengan ditandatanganinya sebuah persetujuan normalisasi hubungan antara Indonesia dan Malaysia oleh masing-masing Menteri Luar Negeri di Jakarta. Dan pada tanggal 28 September 1965 Indonesia melalaui Menteri Luar Negeri Adam Malik menyatakan untuk aktif kembali dalam keanggotaan PBB.
Dengan kembalinya Indonesia dalam keanggotaan PBB, berarti mengembalikan pula misi Indonesia untuk turut serta menjalin kerja sama antar negara dan turut serta dalam usaha mewujudkan perdamaian dan ketertiban dunia.Hingga saat ini pun keterlibatan Indonesia dalam PBB masih terlihat. Selain aktif dalam mengirimkan Pasukan Perdamaian Garuda, Indonesia pun sering mendapatkan bantuan internasional dari PBB berkait dengan pendidikan, perekonomian, kebudayaan maupun bencana alam yang sering melanda Indonesia. Dengan demikian maka bisa dikatakan bahwa keterlibatan hubungan natara Indonesia dan PBB memiliki hubungan timbal balik yang saling menguntungkan dalam mewujudkan tujuan masing-masing lembaga, baik bagi Indonesia sebagai sebuah negara maupun bagi PBB sebagai organisasi internasiona
* MASA ORDE
LAMA

- a. Aktif Kembali
Setahun setelah pemerintahan Belanda mengakui
kedaulatan RI, tepatnya pada tahun 1950, obligasi Republik Indonesia
dikeluarkan oleh pemerintah. Peristiwa ini menandai mulai aktifnya kembali
Pasar Modal Indonesia Didahului dengan diterbitkannya Undang-undang Darurat No.
13 tanggal 1 September 1951, yang kelak ditetapkankan sebagai Undang-undang No.
15 tahun 1952 tentang Bursa, pemerintah RI membuka kembali Bursa Efek di
Jakarta pada tanggal 31 Juni 1952, setelah terhenti selama 12 tahun. Adapun
penyelenggaraannya diserahkan kepada Perserikatan Perdagangan Uang dan
Efek-efek (PPUE) yang terdiri dari 3 bank negara dan beberapa makelar Efek
lainnya dengan Bank Indonesia sebagai penasihat. Sejak itu Bursa Efek
berkembang dengan pesat, meskipun Efek yang diperdagangkan adalah Efek yang
dikeluarkan sebelum Perang Dunia II. Aktivitas ini semakin meningkat sejak Bank
Industri Negara mengeluarkan pinjaman obligasi berturut-turut pada tahun 1954,
1955, dan 1956. Para pembeli obligasi banyak warga negara Belanda, baik
perorangan maupun badan hukum. Semua anggota diperbolehkan melakukan transaksi
abitrase dengan luar negeri terutama dengan Amsterdam.
- b.Masa Konfrontasi
Namun keadaan ini hanya berlangsung sampai pada tahun 1958, karena mulai saat
itu terlihat kelesuan dan kemunduran perdagangan di Bursa. Hal ini diakibatkan
politik konfrontasi yang dilancarkan pemerintah RI terhadap Belanda sehingga
mengganggu hubungan ekonomi kedua negara dan mengakibatkan banyak warga negara
Belanda meninggalkan Indonesia.Perkembangan tersebut makin parah sejalan dengan
memburuknya hubungan Republik Indonesia dengan Belanda mengenai sengketa Irian
Jaya dan memuncaknya aksi pengambil-alihan semua perusahaan Belanda di
Indonesia, sesuai dengan Undang-undang Nasionalisasi No. 86 Tahun 1958.Kemudian
disusul dengan instruksi dari Badan Nasionalisasi Perusahaan Belanda (BANAS)
pada tahun 1960, yaitu larangan bagi Bursa Efek Indonesia untuk memperdagangkan
semua Efek dari perusahaan Belanda yang beroperasi di Indonesia, termasuk semua
Efek yang bernominasi mata uang Belanda, makin memperparah perdagangan Efek di
Indonesia.
Tingkat inflasi pada waktu itu yang cukup tinggi
ketika itu, makin menggoncang dan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap
pasar uang dan pasar modal, juga terhadap mata uang rupiah yang mencapai
puncaknya pada tahun 1966. Penurunan ini mengakibatkan nilai nominal saham dan
obligasi menjadi rendah, sehingga tidak menarik lagi bagi investor. Hal ini
merupakan pasang surut Pasar Modal Indonesia pada zaman Orde Lama.
|
Persiapan perebutan Irian Barat ditandai dengan upaya - upaya
memperkuat kekuatan nasional. Di lingkungan Mahasiswa dikeluarkan keputusan
Menteri Keamanan Nasional No. MI/B/00307/61 tentang latihan kemiliteran di
perguruan tinggi sebagai "Pendahuluan Wajib Latih Mahasiswa".] .Dengan
dicanangkannya operasi pembebasan Irian Barat pada tanggal 19 Desember1962,
dikenal dengan TRIKO(Tri Komando Rakyat), maka untuk menindaklanjutinya
Menteri PTIP mengeluarkan instruksi No. 1 tahun 1962, tentang pembentukan
Korps Sukarelawan di Lingkungan Perguruan Tinggi. Berikutnya, kedua keputusan
di atas disusul dengan Keputusan Bersama Wampa (Wakil Menteri Pertama) Hankam
dan Men PTIP (Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan) No. M/A/20/1963
tanggal 24 Januari 1963 tentang pelaksanaan wajib latih dan pembentukan
Resimen Mahasiswa di lingkungan Perguruan Tinggi. Pengembangannya dilakukan
dalam satuan satuan Resimen Induk Mahasiswa (RINWA), yang diatur dalam
Keputusan Bersama Wampa Hankam dan Men PTIP No. 14 A/19-20-21/1963 tentang
Resimen Induk Mahasiswa.
Tahun 1964 melalui instruksi Menko Hankam /Kasab No. AB/34046/1964,
tanggal 21 April 1964 dilakukan pembentukan Menwa di tiap - tiap Kodam. Hal
ini dipertegas dengan Keputusan Bersama Menko Hankam/Kasab dan Men PTIP no.
M/A/165/65 dan Nomor 2/PTIP/65 tentang organisasi dan prosedur Mahasiswa
Menwa ikut serta mendukung Operasi Dwi Komando Rakyat (Dwikora) tanggal
14 Mei 1964. Sebagai bukti keikutsertaan ini dapat diketahui bahwa hingga
tanggal 20 Mei 1971, sebanyak 802 (delapan ratus dua) orang anggota Menwa memperoleh
anugerah "Satya Lencana Penegak" dan beberapa memperoleh anugerah
"Satya Lencana Dwikora".
Dalam
perkembangan sejarah selanjutnya, di mana Menwa memiliki andil yang besar
dalam membantu menegakkan NKRI, maka Partai Komunis Indonesia (PKI)
merasakan ancaman, sehingga pada tanggal 28 September 1965, Ketua PKI
D.N. Aidit menuntut kepada Presiden Soekarno agar Resimen Mahasiswa yang
telah dibentuk di seluruh Indonesia agar dibubarkan. Namun hal itu tidak
berhasil.
|
Reformasi masih jauh dari harapan
Jakarta-Zona Damai : 14 Tahun lalu Presiden Soeharto mengundurkan diri
dari jabatannya yang menandai awal era reformasi. Sejak tumbangnya Orde Baru
itu, Indonesia terus membangun diri dalam era reformasi hingga sekarang.
“Ada 3 tren
politik hukum yang tercermin dari produk perundang-undangan saat ini. Pertama,
sektor keamanan. Reformasi sektor keamanan mundur jauh ke belakang dengan
lahirnya berbagai undang-undang yang lebih mengukuhkan peran aktor keamanan
dalam ruang-ruang politik dan supremasi dan kebebasan masyarakat sipil,” kata
Direktur LBH Jakarta, Nurkholis Hidayat, dalam siaran pers yang diterima
detikcom, Senin (21/5/2012).
Hal itu
dapat tercatat dari munculnya 2 UU yang dinilai kontroversial yaitu UU
Intelijen dan UU Penanganan Konflik Sosial (PKS). “UU PKS bahkan secara
tersirat semakin mengukuhkan keberadaan komando teritorial yang sejak 1998
ditentang mahasiswa dan masyarakat sipil,” ujar Nurkholis.
Kedua, masih
menurut Nurkholis, independensi peradilan dan penegakkan hukum berada dalam
titik berbahaya dengan serentetan perundang-undangan. Lewat UU, parlemen
mengontrol gerak yudikatif dan mengintervensi kekuasaan peradilan.
“Sementara
itu seleksi calon hakim agung, uji kepatutan dan kelayakan komisioner KPK, dan
pejabat lembaga negara lainnya bergeser menjadi rentan dengan transaksi
kepentingan partai politik yang menyandera independensi penegak hukum,” ucap
Nurkholis.
Ketiga,
terjadi kemunduran dalam penegakkan hukum. Kriminalisasi aparat terhadap
masyarakat makin marak. “Partisipasi publik terhambat dengan banyaknya
peraturan perundang-undangan yang mengancam memenjarakan kritik dan ekspresi
publik. Setidaknya kita bisa melihat dalam UU Perkebunan, UU Minerba, UU
Perumahan dan UU Intelijen. Konflik sumber daya alam sering kali berujung pada
tindakan kriminalisasi warga,” beber alumnus Fakultas Hukum Universitas
Indonesia (FH UI) ini.
Demo Mahasiswa di Ambon
Puluhan
mahasiswa di Ambon, Maluku, yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Kristen
Indonesia (GMKI) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) memperingati 14 tahun masa
reformasi dengan berunjuk rasa, Senin (21/5/2012). Mereka kecewa karena proses
reformasi masih jauh dari harapan.
Unjuk rasa
dilakukan mahasiswa dari dua kelompok tersebut secara bersama-sama di kantor
Kejaksaan Tinggi Maluku kemudian dilanjutkan di kantor Gubernur Maluku, Ambon.
Mereka
berniat menurunkan bendera Merah-Putih di halaman kantor Kejaksaan Tinggi
Maluku sebagai bagian atas kekecewaan mereka karena tidak berjalannya reformasi
sesuai harapan masyarakat. Namun upaya itu digagalkan oleh puluhan polisi yang
berjaga di sana.
Menurut
Koordinator Lapangan dari HMI, Mohammad Hanubun, tidak berjalannya reformasi
sesuai dengan harapan itu antara lain terlihat dengan kian maraknya praktik
korupsi. Dengan begitu, reformasi yang terjadi tidak bisa membawa kesejahteraan
bagi masyarakat.
Koordinator
Lapangan GMKI, Nelson Ladutubun mengatakan, masih banyaknya masyarakat
Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan merupakan indikasi lain
reformasi masih jauh dari harapan yang semula dicita-citakan saat Presiden
Suharto lengser dari jabatannya, 21 Mei 1998.
KAMMI Medan
Seratusan
massa mengatasnamakan Pengurus Daerah Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia
(KAMMI) Kota Medan, menganggap bahwa reformasi gagal di bawah kepemimpinan
Sosilo Bambang Yudhoyono (SBY), Senin (21/5/2012). Massa yang memblokade Jalan
Gatot Subroto Medan, tepatnya di Bundaran Majestik ini, dalam orasinya menyatakan
14 tahun reformasi berlalu, harapan munculnya Indonesia baru yang bermartabat,
makmur, dan sejahtera.
Reformasi
hanya wacana para penguasa tiran, kemiskinan, kesenjangan sosial, dan perbedaan
hukum masih konsumsi harian rakyat. Massa dalam pernyataan sikapnya menyatakan
pemerintahan SBY telah gagal mengemban amanah reformasi. Menuntut SBY beserta
jajarannya serius dalam mewujudkan hak rakyat untuk hidup bermartabat, makmur,
sejahtera, dalam bingkai ke-Indonesiaan.
“Jika tidak
ada keseriusan, KAMMI menuntut SBY-Boediono dan seluruh menteri di Kabinet
Indonesia Bersatu jilid II untuk segera mundur dari jabatannya dan mempercepat
pelaksanaan Pemilu,” demikian sikap mahasiswa.
Demo Buruh di Jakarta
Puluhan
buruh yang tergabung dalam Sekretariat Bersama (Sekber) Buruh se-Jakarta,
Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) hari ini turun ke jalan,
menggelar aksi demonstrasi di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Demonstrasi ini untuk memperingati hari kebangkitan nasional dan 14 tahun
reformasi 1998.
“Hidup
buruh. Sekber buruh sadar benar, perjuangan buruh tidak hanya perjuangan
ekonomis, tapi sosial dan politik juga harus diperjuangkan,” teriak salah
seorang buruh dalam orasinya, di depan Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin
(21/5/2012).
Dalam aksinya,
para buruh menggunakan kaus merah dan semangat meneriakkan yel-yel mereka dan
menyampaikan tuntutan mereka. Para buruh juga membawa spanduk bertuliskan,
“Soeharto dan SBY ada rezim anti Rakyat”. “Buruh bersatu tak bisa dikalahkan,”
sambungnya.
Sementara
itu, Juru Bicara Sekber Buruh Jabodetabek Adi Wibowo menegaskan, dalam UU
Perburuhan dan Tenaga Kerja No.13 tahun 2003 tertuang perlindungan terhadap
serikat buruh. Namun, hingga 14 tahun reformasi, kebebasan berserikat masih
menjadi wacana. Banyak perusahaan yang sengaja memberangus serikat buruh.
“Ketika
serikat buruh direpresif oleh perusahaan, buruh diperlakukan semena-mena dan di
Putusan Hubungan Kerja (PHK), negara tidak hadir di situ,” terang Adi.
Lebih jauh, menurutnya, negara cendrung lebih melindungi
perusahaan dalam kasus-kasus sengketa lahan. “Di sektor agraria, ketika
tanah-tanah dirampas, negara juga tidak hadir di situ, malah melindungi
perusahaan besar dan mengamini perampasan tanah,” tukasnya [dari berbagai sumber